Komunikasi baik orang tua dengan anak adalah yang melibatkan pertukaran kata-kata, gagasan dan perasaan. Komunikasi adalah apa yang kita katakan dan bagaimana mengatakannya. Komunikasi itu melibatkan niat (tulus atau bulus), wajah (cemberut atau tersenyum), tindakan (tamparan atau pelukan) dan tentu kata-kata (ramah atau ketus).
Dampak Komunikasi Positif dan Negatif
Komunikasi yang baik akan menciptakan hubungan yang hangat, kerja sama dan perasaan dihargai. Dari komunikasi yang efektif dengan orangtua, anak-anak akan mendapatkan inspirasi untuk melakukan apa yang diharapkan. Bisa memecahkan masalah mereka sendiri. Serta menumbuhkan konsep diri yang positif.
Sebaliknya, komunikasi yang buruk menciptakan anak-anak yang enggan mendengarkan orang lain. Memunculkan konflik dan pertengkaran. Serta menumbuhkan perasaan tidak dihargai.
Contoh Praktek Komunikasi Baik
Al-Qur’an menukilkan untuk kita contoh komunikasi ideal ayah-anak. Yaitu antara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan putra beliau; Nabi Ismail ‘alaihissalam. Allah ta’ala mengisahkan,
“فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ”
Artinya: “Tatkala anak itu telah dewasa, Ibrahim berkata padanya, “Wahai anakku sungguh aku telah bermimpi menyembelih dirimu. Apa gerangan pendapatmu mengenai mimpi tersebut?”. Ia menjawab, ‘Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. QS. Ash-Shaffat (37): 102.
Dalam dialog ini, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi anaknya dan memberi kesempatan untuk bertukar pikiran. Sifat kasih sayang itu tergambar dari pilihan kata yang digunakannya ketika menyeru buah hatinya, “Ya bunayya (wahai anakku)”. Penggunakan kata “Ya bunayya” merupakan panggilan penuh kasih sayang kepada anaknya.
Di antara tujuan yang ingin dicapai Ibrahim dalam proses komunikasi adalah kerelaan Ismail untuk ‘dikorbankan’. Selain itu, Ibrahim berharap Ismail mengetahui bahwa ‘penyembelihan’ itu sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Dua target yang ingin dicapai Ibrahim dalam komunikasi itu ternyata berhasil dicapai.
Hal itu disebabkan, antara lain karena adanya kesamaan pola keimanan antara keduanya. Juga kepercayaan tinggi Ismail terhadap ayahnya, yang muncul dari keteladanan Ibrahim.
Ismail percaya betul bahwa ayahnya tidak mempunyai kepentingan pribadi, kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu, Ismail juga harus mengerjakan perintah Allah. Karena Ismail juga mengakui dirinya sebagai hamba Allah.
Makanya, jangankan mengajak untuk kebaikan yang menguntungkan secara lahiriah, ketika diajak untuk mengorbankan nyawa sekali pun, sang anak pun rela tanpa banyak protes.
Dua Faktor Penting Komunikasi
Jadi, dalam berkomunikasi, sekurang-kurangnya ada dua faktor penting yang harus diperhatikan. Pertama: Niat yang tulus. Kedua: Ungkapan yang baik.
Yuk berkomunikasi baik dengan anak!
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 30 Jumadats Tsaniyah 1441 / 24 Februari 2020